Jenis Tembang Macapat
Pada dasarnya, macapat merupakan puisi yang terikat oleh pola persajakan dan mengandung unsur titilaras atau nada (Saputro, 1992:19). Pola persajakan dan titilaras tersebut tergantung pada jenis pupuh yang digunakan. Dengan demikian, guru gatra, guru wilangan, dan guru lagu pada macapat sangat ditentukan oleh jenis pola persajakan. Satu pupuh bisa terdiri dari satu pada (bait) atau lebih, namun dalam satu karangan atau karya sastra biasanya menggunakan beberapa pupuh akan tetapi satu pupuh merupakan minimalnya.
Setiap jenis pola persajakan berlaku untuk setiap pupuh. Pupuh merupakan rangkaian utuh dari satu pola pikir atau bab dalam suatu karangan. Meskipun demikian tiddak menutup kemungkinan satu jenis pola persajakan digunakan dalam satu pupuh.
Dalam Ensiklopedia Indonesia jilid 10 (1990:3), jenis tembang macapat di jawa tengah ada sebelas, yaitu Maskumambang, Mijil, Sinom, Asmaradhana, Pangkur, Kinanthi, Dhandhanggula, Gambuh, Durma, Megatruh, Pucung.
1) Maskumambang
Pupuh Maskumambang diciptakan oleh Kanjeng Sunan Majagung. Kata Maskumambang berasal dari kata mas yang berarti emas, dan kumambang yang artinya terapung. Setiap benda, emas sekalipun, apabila terapung pasti akan terombang ambing oleh arus. Tembang ini berwatak susah, sedih, terharu, merana, dan penuh derita. Tembang tersebut lebih cocok untuk melukiskan suasana sedih, haru, merana, dan penuh derita (Hardjo Wirogo dalam Haryatmo, 2003:21).
2) Mijil
Pupuh Mijil diciptakan oleh Kanjeng Sunan Geseng. Kata Mijil merupakan sinonim dari kata metu (keluar). Mijil berwatak terharu dan terpesona. Tembang tersebut cocok untuk menyatakan suasana haru, terpesona dalam hubungannya dengan kasih sayang, atau nasehat (Darusuprapto dalam Haryatmo, 2003:17). Tembang Mijil juga dilambangkan dengan jabang bayi yang baru dilahirkan, sehubungan dengan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pupuh Mijil memiliki sifat lancar. Jadi Mijil juga sesuai untuk menggambarkan perasaan sedih dan sendu.
3) Sinom
Secara harfiah, sinom berarti (1) pucuk daun muda dan (2) daun muda asam. Kedua makna tersebut dapat mewakili suatu keadaan usia muda, dimana usia muda merupakan usia yang penuh keceriaan, senang tanpa kesedihan, penuh cita-cita dan kemauan. Jadi, pupuh sinom dapat digunakan untuk menggambarkan suatu persahabatan, melahirkan cita kasih, dan menyampaikan amanat serta nasehat.
4) Asmaradhana
Pupuh Asmaradhana diciptakan oleh Sunan Giri Kadaton. Kata asmaradhana berasal dari kata asmara dan dahana yang disingkat menjadi dhana. Dhana sendiri berarti api. Jadi Asmaradhana berarti api asmara. Dengan demikian pupuh ini memiliki sifat sedih, rindu, dan mesra. Watak tersebut lebih cocok untuk menanyakan rasa sedih, rindu, dan mesra.
5) Pangkur
Pupuh pangkur diciptakan oleh Kanjeng sunan Murya. Pangkur berasal dari akar kata kur. Dari kata kur tersebut kemudian terbentuk kata pangkur yang mengandung makna belakang. Tembang pangkur berwatak gagah perwira, bergairah dan bersemangat. Menurut Hardjo Wirogo (dalam Saputra, 1992:29).
6) Kinanthi
Pupuh Kinanthi diciptakan oleh Kanjeng sultan Erucakra. Kinanthi berassal dari kata kanthi (gandheng) yang memperoleh sisipan in yang berfungsi untuk menjadikan pasif. Sisipan in dalam bahasa Jawa sama dengan awalan di dalam bahasa Indonesia. Dengan demikian kata kinanthi berarti digandheng. Watak tembang kinanthi adalah terpadu, gembira, dan mesra. Watak tersebut cocok untuk memberikan nasehat dan mengungkapkan kassih sayang.
7) Dhandhanggula
Pencipta pupuh dhandhanggula adalah Kanjeng Sunan Kalijaga. Secara harfiah, dhandanggula berarti supaya sedangkan gula berarti manis, menyenangkan atau baik. Jadi, dhandhanggula berarti mengharap supaya baik atau menyenangkan.
8) Gambuh
Kata Gambuh memiliki dua pengertian, yaitu (1) kulina (biasa), pundhuh (akrab), (2) tledhek (penari). Dari dua pengertian itu maka pengertian pertamalah yang memiliki kaitan makna dengan kata gambuh. Pupuh gambuh memiliki sifat akrab. Pupuh gambuh juga berwatak wajar, jelas dan tanpa ragu-ragu. Tembang ini lebih cocok untuk mengungkapkan hal-hal yang bersifat kekeluargaan, nasehat, serta menggambbarkan kesungguhan hati (Hardjo Wirogo dalam Haryatmo, 2003:20).
9) Durma
Pupuh durma diciptakan oleh Kanjeng Sunan Bonang. Kata durma berasal dari kata durmanggala yang berarti firasat buruk atau kecelakaan, dan durmata yang berarti buruk adatnya. Durma berwatak bersemangat, keras, dan galak. Watak tersebut lebih cocok untuk mengungkapkan kemarahan, kejengkelan, dan dalam peperangan (Hardjo Wirogo dalam Haryatmo, 2003:22)
10) Megatruh
Megatruh berasal dari kata megat (memutuskan) dan ruh (nyawa) dari pengertian tersebut dapat disimpulkan adanya suasana yang sendu dan duka. Tembang mmegatruh digunakan untuk mengungkapkan perasaan sedih atau duka, penyesalan, dan kepedihan yang sangat dalam.
11) Pucung
Pucung diciptakan oleh Kanjeng Sunan Gunungjati. Pupuh Pucung ini mempunyai sifat santai, fleksibel, dan tidak tegang. Pupuh ini biasanya digunnakan untuk pupuh yang bersifat santai, jenaka, atau untuk mengungkap nasehat yang ringan.